Opini Agus – Pegiat Kebijakan Publik
Bojonegoro – Karnaval HUT RI ke-80 di Desa Margoagung, Sumberrejo, mendadak jadi kuliah umum politik paling jujur.
Bukan dari podium pejabat, melainkan dari simbol “tikus berdasi” yang berjalan anggun di tengah parade.
Simbol itu jelas bukan sekadar tontonan, tapi sindiran telak: di balik gegap gempita perayaan, rakyat masih dihantui tikus yang lebih lihai menggerogoti anggaran ketimbang menggerogoti keju.
Lucunya, tikus ini malah berdasi. Satir kelas berat, sebab yang digigit bukan gudang padi, melainkan APBD dan kebijakan yang katanya “pro-rakyat” tapi lebih sering pro-golongan.
Birokrasi di atas kertas berbicara tentang transparansi, tapi di lapangan masyarakat justru menemukan lubang-lubang gelap yang dipelihara dengan rapi.
Apakah pejabat tersinggung? Harusnya iya. Kalau tidak, berarti memang sudah kebal kritik.
Tapi justru di sinilah letak kejujuran rakyat Bojonegoro: mereka berani menyuarakan keresahan, meski hanya lewat simbol sederhana.
Rakyat bicara, tikus berdasi berlenggak-lenggok di panggung merah putih.
Kritik ini jangan dianggap angin lalu. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi pengkhianatan terhadap sumpah kemerdekaan.
Maka, kalau pejabat masih terus berdasi tapi bermental tikus, jangan salahkan rakyat jika perayaan 17 Agustus tahun depan lebih ramai simbol binatang daripada pidato resmi.
Catatan: Tulisan ini adalah refleksi satir masyarakat secara umum, tidak ditujukan kepada individu tertentu, melainkan sebagai kritik sosial demi perbaikan tata kelola pemerintahan.