Oleh Agus – Pegiat Kebijakan Publik
Bojonegoro – Kabupaten Bojonegoro kini berusaha tampil modern di bidang pertanian dengan menghadirkan teknologi drone sprayer.
Jargon yang digembar-gemborkan: efisiensi, hemat tenaga, dan ramah lingkungan.
Dinas Pertanian menegaskan, alat canggih ini mampu mempercepat penyemprotan lahan. Namun, di balik panggung presentasi pejabat, muncul pertanyaan mendasar: teknologi ini untuk siapa sebenarnya?
Pendapat Ahli Pertanian, pakar teknologi pertanian salah satu universitas di Surabaya menilai inovasi drone tepat di era digital.
“Drone sprayer bisa meningkatkan efisiensi, apalagi di lahan luas. Namun, mayoritas petani Bojonegoro adalah petani kecil dengan rata-rata sawah setengah hektar. Mereka jelas kesulitan mengakses teknologi berbiaya mahal,” ujarnya.
Menurutnya, masalah utama petani bukan sekadar soal menyemprot lahan, melainkan distribusi pupuk yang tersendat, harga gabah yang tidak stabil, serta ketergantungan pada tengkulak.
“Jika akar masalah ini tidak diurai, teknologi secanggih apa pun hanya akan jadi pajangan,” tegasnya, kemarin siang.
Suara Petani di Lapangan, Slamet, petani kecil di Kecamatan Sumberrejo, menyebut drone lebih mirip barang pameran.
“Kami lihat drone itu keren, tapi kebutuhan utama kami pupuk tersedia tepat waktu dan harga gabah naik. Kalau drone hanya dipakai kelompok tertentu, apa gunanya buat kami?” keluhnya, beberapa waktu lalu.
Antara Harapan dan Kenyataan, Modernisasi pertanian seharusnya berpihak pada petani kecil, bukan sekadar proyek etalase.
Jika benar ingin membangun pertanian berdaulat, teknologi harus diiringi program pendukung: subsidi akses, pelatihan, hingga jaminan pasar hasil panen.
Tanpa itu, drone sprayer hanya akan menjadi alat pencitraan, bukan solusi nyata. Pertanyaannya sederhana: Apakah drone sprayer di Bojonegoro benar-benar mengangkat derajat petani, atau sekadar mengangkat citra pejabat?