KOLOM  

Sekolah Rakyat Bojonegoro: Antara Harapan Besar dan Tantangan Nyata

Avatar photo

Opini oleh Agus – Pegiat Kebijakan Publik

Bojonegoro – Kehadiran Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 36 Bojonegoro jelas menjadi sejarah baru dalam dunia pendidikan daerah.

Dengan konsep boarding school gratis, fasilitas lengkap, dan dukungan penuh pemerintah, program ini seakan menjanjikan “jalan pintas” pemutusan rantai kemiskinan struktural.

Seratus siswa dari 25 kecamatan kini menempati asrama, mendapat makan gratis, seragam, hingga pendampingan akademik dan non-akademik.

Dari sisi visi, siapa yang bisa menyangkal bahwa ini adalah langkah progresif?

Namun, sebuah gagasan besar tidak bisa berhenti di seremoni pembukaan atau narasi manis pejabat.

Justru, tantangan nyata mulai muncul ketika lampu kamera padam dan sorak-sorai peresmian reda.

Pertanyaannya: mampukah SRMA 36 benar-benar menjadi kawah candradimuka lahirnya generasi unggul, atau hanya akan berakhir sebagai proyek mercusuar?

Ada Beberapa Catatan Penting;

Pertama, ketahanan finansial.
Program besar seperti ini jelas menelan biaya tinggi: asrama, konsumsi, fasilitas belajar, hingga pendampingan guru yang intensif.

Jika hanya bergantung pada APBD tanpa skema pendanaan jangka panjang, risiko keberlanjutan mengintai.

Kedua, kurikulum dan relevansi dunia kerja. Siswa SRMA perlu lebih dari sekadar materi SMA standar.

Mereka harus dibekali keterampilan vokasi, kewirausahaan, hingga literasi digital agar bisa bersaing.

Tanpa diferensiasi kurikulum, sekolah rakyat hanya akan menghasilkan lulusan serupa SMA biasa, namun dengan embel-embel gratis.

Ketiga, kualitas pendampingan mental dan sosial. Siswa yang datang dari latar belakang keluarga rentan sering membawa beban psikologis dan kerentanan sosial.

Sekolah rakyat harus punya sistem konseling yang kuat, bukan sekadar mengandalkan guru pengajar.

Keempat, transparansi dan evaluasi publik. Program sebesar ini tidak boleh eksklusif.

Masyarakat perlu tahu bagaimana seleksi siswa dilakukan, bagaimana anggaran dikelola, dan apa indikator keberhasilan yang jelas.

Tanpa itu, sekolah rakyat bisa terjebak menjadi alat pencitraan politik jangka pendek.

Bojonegoro punya peluang besar menjadikan SRMA 36 sebagai model pendidikan inklusif tingkat nasional.

Tapi, keberhasilan bukan diukur dari liputan media hari peresmian, melainkan dari 5–10 tahun ke depan.

Apakah lulusan benar-benar bisa keluar dari lingkaran kemiskinan, melanjutkan pendidikan tinggi, atau memiliki daya saing di dunia kerja.

Sekolah rakyat adalah harapan, tetapi ia juga ujian bagi pemerintah daerah: berani konsisten atau hanya sekadar mendirikan monumen sosial?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *