Opini oleh Agus – Pegiat Kebijakan Publik
Bojonegoro – Pada Akhir bulan juli lalu, Kabupaten Bojonegoro dinobatkan sebagai Juara 1 Paritrana Award 2024 tingkat Jawa Timur oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Penghargaan diserahkan, plakat dipajang, dan ucapan selamat pun mengalir. Namun di tengah euforia tersebut, muncul pertanyaan dari publik: penghargaan ini sebenarnya untuk siapa?
Sebab ketika berbicara soal jaminan sosial ketenagakerjaan, kita bicara tentang nasib hidup para pekerja, bukan sekedar proposal yang rapi atau presentasi yang menarik di depan dewan juri.
Data Berbicara: Mayoritas Pekerja Masih Belum Terlindungi
Menurut data terbuka dari BPJS Ketenagakerjaan dan media lokal, jumlah pekerja di Bojonegoro diperkirakan mencapai 750 ribu orang.
Namun dari angka tersebut, baru sekitar 42 persen yang tercatat sebagai peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan.
Artinya, lebih dari 400 ribu pekerja mulai dari petani, buruh tani, pedagang kaki lima, hingga tukang bangunan masih bekerja tanpa perlindungan sosial.
Jika terjadi kecelakaan kerja, tidak ada jaminan santunan. Jika meninggal, keluarganya harus menanggung beban sendiri.
Anggaran Sudah Besar, Tapi Cakupan Masih Rendah
Pemerintah Kabupaten Bojonegoro sebenarnya telah mengalokasikan anggaran yang signifikan: Rp 35,9 miliar dari APBD untuk mendaftarkan pekerja rentan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Langkah ini tentu patut diapresiasi. Namun, dengan jumlah tersebut, ekspektasi publik adalah perluasan cakupan yang nyata dan terukur, bukan hanya capaian administratif.
Jika lebih dari separuh pekerja masih belum terlindungi, layakkah kita merasa cukup hanya karena menerima penghargaan?
Kata Para Ahli, Prestasi Harus Berdampak Nyata
Beberapa pakar jaminan sosial menyoroti pentingnya dampak riil di lapangan, bukan hanya kegiatan seremonial atau penghargaan simbolik.
1. Muhammad Zuhri Bahri (Ketua Dewas BPJS Ketenagakerjaan): “Empat tantangan besar jaminan sosial adalah rendahnya kesadaran, belum kuatnya regulasi, terbatasnya akses, dan minimnya perlindungan pekerja informal.”
2. Timboel Siregar (Koordinator BPJS Watch): “Banyak daerah mengejar penghargaan, tapi lupa bahwa perlindungan sosial adalah tanggung jawab moral negara, bukan sekadar lomba.”
3. Dr. Trubus Rahardiansah (Pakar Kebijakan Publik): “Tanpa inovasi pelayanan dan perluasan peserta, penghargaan hanyalah pemanis statistik.”
Alarm untuk Semua, Bukan Alasan untuk Berpesta
Jika daerah dengan cakupan perlindungan baru 42 persen sudah dinobatkan sebagai juara, apa kabar daerah lain yang mungkin memiliki capaian lebih tinggi namun tidak mendapat penghargaan?
Ini memunculkan pertanyaan: apa sebenarnya indikator penilaian penghargaan ini?
Apakah fokus pada dampak perlindungan nyata, atau sekedar administrasi, proposal, dan dokumentasi?
Yang Dibutuhkan Pekerja Bukan Plakat, Tapi Perlindungan Nyata
Para pekerja tidak membutuhkan seremoni. Mereka butuh jaminan bahwa jika mereka celaka saat bekerja, ada santunan.
Jika mereka wafat saat mencari nafkah, keluarganya tidak terpuruk. Jika mereka menua, ada dana pensiun untuk tetap hidup layak.
Penghargaan memang bisa menjadi motivasi, tapi jangan sampai membuat kita lengah.
Selama mayoritas pekerja belum terlindungi, maka penghargaan tersebut seharusnya menjadi pengingat akan pekerjaan rumah yang masih besar, bukan alasan untuk berbangga diri.
Catatan:
Tulisan ini disusun berdasarkan data terbuka dan dapat diverifikasi oleh publik.