Oleh: Agus, Pegiat Kebijakan Publik
Bojonegoro – Transparansi itu adalah keterbukaan. Ngono yo ngono, tapi ojo ngono. Artinya, jika memang terbuka, jangan setengah-setengah. Jangan seperti kaca film tebal, yang hanya memperlihatkan bayangan samar.
Ironisnya, kata “transparansi” seringkali hanya menjadi hiasan pidato. Setiap tahun diucapkan, setiap acara diumbar, tetapi ketika rakyat meminta bukti, seribu alasan justru bermunculan. Transparansi model begini lebih menyerupai sandiwara: panggung dan lampu ada, tetapi tirai tak pernah benar-benar dibuka.
Transparansi seharusnya sederhana: anggaran diumumkan, realisasi dipaparkan, dan rakyat bisa menilai. Jika yang diumumkan hanya judul besar sementara rinciannya disembunyikan, itu bukan transparansi, melainkan kamuflase. Ngono yo ngono, tapi ojo ngono.
Pepatah Jawa mengatakan: “Sepi ing pamrih, rame ing gawe.” Artinya, bekerja untuk rakyat tanpa pamrih pribadi. Namun, yang sering terjadi justru sebaliknya: “rame ing pamrih, sepi ing gawe.” Transparansi hanya ramai di baliho, tetapi sepi dalam laporan keuangan.
Ada lagi pepatah: “Jer basuki mawa bea.” Semua keberhasilan memerlukan biaya. Namun di sini, biaya ada, hasil tidak jelas ke mana. Yang transparan hanya kuitansi belanja seremonial, sementara proyek untuk rakyat malah jalan di tempat.
Jika sudah demikian, rakyat tentu bertanya: keterbukaan macam apa yang selalu diumbar tetapi tidak pernah dirasakan? Jangan-jangan transparansi hanya sebatas kata indah, sementara praktiknya penuh dengan “jendela kaca buram”.
Ingatlah, pepatah Jawa juga mengingatkan: “Becik ketitik, ala ketara.” Yang baik akan tampak, yang buruk akan terlihat. Transparansi sejati bukan membuka aib, melainkan memastikan yang baik benar-benar kelihatan, dan yang buruk tidak lagi ditutup-tutupi.
Editor: Arif Rahman Hakim