KOLOM  

Dua Warna Anggaran, Ada Konstitusi yang Dilanggar

Avatar photo

Opini Oleh: Agus Harianto

Bojonegoro – Anggaran negara atau daerah itu bukan milik segelintir pejabat, tapi milik rakyat.

Itulah amanat UUD 1945 Pasal 23, yang tegas menyebut: “APBN/APBD digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Namun di lapangan, publik mendengar cerita adanya dua kertas: putih dan hitam.

Kertas putih dipajang rapi di papan informasi untuk rakyat, sedangkan kertas hitam beredar terbatas di ruang-ruang internal.

Pertanyaan muncul: kalau anggaran sudah jelas, kenapa harus ada dua warna?

Kalau angka di kertas putih tidak sama dengan yang tercatat di kertas hitam, maka jelas ada masalah. Itu bukan sekadar administrasi, tapi bisa jadi indikasi penyimpangan.

Bahkan bisa dianggap melanggar UU Keuangan Negara (17/2003) dan UU Perbendaharaan Negara (1/2004) yang mewajibkan anggaran dikelola dengan transparan dan akuntabel.

Lebih pedas lagi, kondisi ini juga bisa dianggap menyalahi PP 12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang menegaskan keterbukaan informasi publik. Dan tentu, semangat konstitusi UUD 1945 yang mengamanatkan uang rakyat kembali ke rakyat.

Pertanyaan rakyat sederhana: kemana selisih antara kertas putih dan kertas hitam itu pergi? Apakah kembali ke kas daerah, atau justru mengalir ke kantong pihak-pihak yang berkepentingan?

Kalau benar ada praktik seperti ini, maka bukan hanya melanggar aturan, tapi juga mengkhianati janji konstitusi.

Karena rakyat tidak pernah meminta anggaran dua warna. Rakyat hanya ingin satu: keadilan dan kejujuran.

Transparansi sejati tidak butuh kertas hitam. Ia hanya butuh satu kertas putih yang benar-benar bersih, tanpa noda, tanpa manipulasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *