Opini Agus – Pegiat Kebijakan Publik
Bojonegoro – Transparansi anggaran di negeri ini seringkali hanya jadi bahan seminar, bukan kenyataan.
Ironisnya, desa yang anggarannya tidak seberapa justru dipaksa “buka baju” habis-habisan.
Setiap proyek wajib ada papan informasi, lengkap dengan jumlah dana, sumber anggaran, hingga jenis pekerjaan.
Rakyat desa tahu persis: jalan cor ini habis Rp 80 juta, posyandu itu Rp 50 juta.
Tapi bagaimana dengan pemerintah daerah? Anggaran triliunan rupiah hanya dipajang di buku APBD yang tebal, berbahasa birokrasi, dan jarang diakses masyarakat.
Di lapangan, papan informasi besar yang menampilkan realisasi APBD hampir mustahil ditemukan.
Pemda seolah boleh mengenakan “jaket tebal”, rapat, hangat, dan sulit ditembus pandangan rakyat.
Pertanyaannya, apakah desa dan pemda bukan sama-sama bagian dari NKRI? Bukankah sama-sama tunduk pada UU Keterbukaan Informasi Publik?
Mengapa desa diperlakukan seperti murid SD yang harus menunjukan PR setiap hari, sementara pemda seperti mahasiswa senior yang boleh menghindar dari presentasi?
Kalau desa saja bisa transparan hingga ke detail, mestinya pemda yang anggarannya jauh lebih besar berani pasang papan realisasi APBD di alun-alun atau jalan protokol.
Biar rakyat tahu, berapa miliar untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga belanja pegawai.
Kalau tidak, jargon transparansi hanya akan terdengar seperti lelucon politik—manis di pidato, pahit di kenyataan.
Catatan: Ini Opini Pribadi.