Opini Agus – Pegiat Kebijakan Publik
Bojonegoro – Kalau soal transparansi, desa itu nasibnya seperti artis dangdut kampung: dipaksa tampil tanpa make up.
Semua harus terlihat jelas—dana masuk berapa, dipakai untuk apa, sampai harga paku buat papan informasi pun bisa diketahui warga.
Mau tidak mau, kepala desa harus siap jadi sorotan. Salah dikit, langsung jadi bahan gosip di warung kopi.
Sebaliknya, pemerintah daerah justru seperti pejabat kondangan: berjas tebal, parfum mahal, senyum rapat.
Anggaran triliunan rupiah bisa tersimpan rapi dalam buku APBD setebal ensiklopedia.
Rakyat awam mana sempat baca? Mau tanya pun kadang harus lewat birokrasi yang bikin orang sudah keburu malas.
Padahal, desa dan pemda sama-sama hidup di bawah naungan negara yang katanya menjunjung keterbukaan.
Tapi anehnya, yang kecil disuruh buka-bukaan, yang besar malah boleh pakai selimut tebal.
Coba bayangkan kalau pemda berani pasang papan besar di alun-alun:
1. Anggaran pendidikan: Rp sekian miliar, terserap sekian persen.
2. Kesehatan: Rp sekian miliar, realisasi sekian persen.
3. Belanja pegawai: jangan kaget, paling besar porsinya!
Pasti rakyat makin melek dan bisa ikut mengawasi. Tapi mungkin inilah bedanya: desa takut salah, pemda lebih takut ketahuan.
Catatan: Ini Opini Pribadi.