KOLOM  

Bojonegoro: Triliunan DBH, Sejauh Mana Membumi untuk Rakyat?

Avatar photo

Oleh Agus – Pegiat Kebijakan Publik

Bojonegoro – Kabupaten Bojonegoro kembali kebanjiran Dana Bagi Hasil (DBH) migas yang nilainya fantastis, hampir menembus Rp 2 triliun hingga Agustus 2025.

Angka yang bikin mata terbelalak dan dompet daerah kian tebal. Tetapi, pertanyaan klasik tetap muncul: apakah uang rakyat itu sudah benar-benar kembali pada rakyat?

Di atas kertas, program-program unggulan pemkab terlihat mentereng: GAYATRI dengan jutaan ekor ayam, Domba Kesejahteraan, Kolega budidaya lele, beasiswa 20 sarjana per desa, hingga Universal Health Coverage.

Tak lupa jargon UMKM naik kelas yang tiap tahun digaungkan. Semua indah dalam presentasi, lengkap dengan foto seremonial dan tepuk tangan pejabat.

Namun di lapangan, wajah rakyat sering kali berkata lain.

Jalan antar-desa masih banyak berlubang, sekolah pinggiran tetap kekurangan guru, petani masih kebingungan pupuk, dan UMKM kecil tetap bertarung sendiri di pasar yang kejam.

Lantas, di mana letak keberpihakan sejati dari triliunan rupiah DBH ini? Jangan sampai rakyat hanya disuguhi program penuh simbol, sementara yang terasa nyata hanyalah brosur dan baliho.

Lebih jauh lagi, DBH sejatinya adalah hak rakyat Bojonegoro atas sumber daya alam yang dikeruk dari perut bumi mereka.

Jika hak ini tidak dikelola dengan jujur, transparan, dan terukur, maka pembangunan hanya akan jadi panggung elite—sementara rakyat tetap menonton dari pinggir jalan berdebu.

Apakah pemkab berani membuka secara detail berapa persen DBH benar-benar menyentuh kebutuhan dasar warga, bukan sekadar proyek pencitraan?

Rakyat tidak anti-program. Rakyat hanya ingin merasakan hasilnya. Tidak salah jika publik menuntut laporan berkala yang mudah diakses, audit yang jelas, dan bukti nyata di lapangan.

Karena kalau triliunan rupiah itu tidak bisa dirasakan di dapur rumah rakyat, maka sejarah akan mencatat: Bojonegoro pandai meraih piagam, tapi gagap menghadirkan keadilan pembangunan.

Kini, pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur oleh para pemangku kebijakan adalah: apakah DBH ini sedang dipakai untuk membangun rakyat, atau sekadar membangun citra?

Jangan-jangan triliunan rupiah itu hanya berputar di meja rapat, sementara rakyat kembali pulang dengan tangan hampa.

DBH bukan hadiah, DBH adalah hak. Maka jangan pernah main-main dengan hak rakyat.

Jika uang itu gagal diterjemahkan menjadi kesejahteraan nyata, bukan tidak mungkin ke depan rakyat akan menagih dengan cara mereka sendiri—melalui suara, kritik, bahkan aksi di jalanan.

Karena pada akhirnya, rakyatlah pemilik sah Bojonegoro, bukan segelintir elite yang pandai memamerkan penghargaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *