Opini Agus – Pegiat Kebijakan Publik
Bojonegoro – Agustus kemarin, Bojonegoro lagi sibuk pamer. SRMA 36 dibuka dengan gagah: seratus anak berbaris rapi, difoto, dipuji, seakan masalah pendidikan sudah tuntas.
Padahal, data jelas bilang masih ada 4.143 anak yang belum sekolah. Lah, seratus anak itu ibarat obat sakit kepala dikasih ke orang yang patah kaki. Ada efek? Ada. Sembuh? Jelas belum.
Lalu, muncul beasiswa “Sepuluh Sarjana per Desa” dengan anggaran Rp34,6 miliar. Angkanya bikin warga melongo, tapi yang bikin tambah bingung: siapa yang dapat? Gimana cara milihnya?
Jangan-jangan, yang benar-benar butuh malah cuma jadi penonton, sementara yang pinter lobi udah aman di kursi penerima.
Belum lagi lomba kebangsaan. Tiga hari teriak “NKRI harga mati”, selesai acara, kembali lagi ke PR lama: guru honorer masih gaji minim, murid miskin masih mikir beli buku.
Inilah gaya pendidikan ala Bojonegoro: ramai di seremoni, sepi di substansi. Warga disuguhi pertunjukan meriah, tapi masalah dasar tetap nongkrong santai: ribuan anak belum sekolah, ketimpangan masih lebar.
Pertanyaannya: mau terus begini, atau berani buka mata kalau realita tidak bisa ditutup dengan spanduk dan lomba?
Catatan: ini opini pribadi.