KOLOM  

Bojonegoro: Aspirasi atau Ambisi DPRD?

Avatar photo

Opini Agus – Pegiat Kebijakan Publik

Bojonegoro – Publik Kabupaten Bojonegoro belakangan ini menyoroti sejumlah kebijakan DPRD yang dinilai tidak sejalan dengan kondisi masyarakat.

Mulai dari kenaikan dana aspirasi, besarnya tunjangan, dugaan intervensi tender, hingga pengadaan mobil dinas miliaran rupiah, semua menimbulkan tanda tanya besar.

Isu paling mencolok adalah kenaikan dana aspirasi masyarakat (Pokir). Dari Rp 180 miliar pada 2024, naik menjadi Rp 300 miliar di 2025.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya mengingatkan bahwa anggaran besar semacam ini seringkali tidak menyentuh kebutuhan riil masyarakat.

Kritik publik pun bermunculan, menilai aspirasi rawan bergeser menjadi kepentingan politik.

Sorotan lain datang dari tunjangan perumahan DPRD. Ketua DPRD menerima Rp 20,3 juta per bulan, wakil ketua Rp 15,2 juta, dan anggota Rp 10 juta per bulan, di luar gaji serta tunjangan lainnya.

Bagi sebagian masyarakat, angka itu dianggap kontras dengan kondisi ekonomi warga yang masih banyak berjuang untuk kebutuhan dasar.

Tak berhenti di sana, publik juga mendengar adanya dugaan intervensi dalam proses lelang tender dan proyek penunjukan langsung (PL) di sejumlah dinas teknis.

Jika benar terjadi, mekanisme pengadaan yang mestinya terbuka bisa terganggu oleh adanya “kuncian” tertentu.

Meski demikian, informasi ini masih sebatas sorotan masyarakat dan perlu klarifikasi lebih lanjut dari pihak terkait.

Kebijakan lain yang ikut disorot adalah rencana pengadaan mobil dinas senilai Rp 7 miliar.

Kritik muncul karena kebijakan tersebut dinilai tidak sensitif terhadap situasi masyarakat yang masih menghadapi berbagai persoalan ekonomi.

Di sisi lain, kondisi sosial-ekonomi Bojonegoro sendiri masih menyisakan pekerjaan rumah besar.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, angka kemiskinan di Bojonegoro masih berada di kisaran 12,25%, sedangkan tingkat pengangguran terbuka mencapai sekitar 4,8%.

Angka tersebut menunjukkan bahwa ribuan keluarga di Bojonegoro masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar dan banyak anak muda kesulitan mendapat pekerjaan layak.

Masyarakat Bojonegoro berhak tahu, atas dasar apa uang ratusan miliar rupiah itu dialokasikan.

Transparansi dan penjelasan terbuka dari DPRD menjadi penting, agar publik tidak hanya melihatnya sebagai beban, melainkan juga sebagai kebijakan yang benar-benar menyentuh kepentingan rakyat.

Karena pada akhirnya, prioritas utama DPRD maupun pemkab seharusnya adalah menjawab persoalan nyata: mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja.

Dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Bojonegoro. Bukan sekadar menambah fasilitas bagi segelintir elite politik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *