Opini Pribadi
Oleh: Agus Pegiat Kebijakan Publik.
Bojonegoro – APBD 2025 Bojonegoro tembus Rp 7,9 triliun – angka yang bikin iri kabupaten tetangga.
Mari kita intip dapurnya. Dari Rp 7,9 triliun itu, porsi paling gendut disajikan untuk belanja operasional Rp 4,3 triliun dan belanja pegawai Rp 2,3 triliun.
Jadi wajar kalau kas daerah terasa sesak, karena untuk gaji birokrat tak pernah molor, selalu cair tepat waktu.
Salut, memang pegawai tak pernah kenal istilah “serapan rendah”.
Namun, mari lihat sisanya. Belanja barang dan jasa Rp 1,5 triliun, yang seharusnya bisa menggerakkan pembangunan nyata, baru disentuh Rp 35,2 miliar alias tak sampai 3%.
Belanja hibah Rp 282,2 miliar? Baru jalan Rp 33,7 miliar. Bantuan sosial Rp 130 miliar? Hanya Rp 29,9 miliar yang keluar.
Bahkan belanja subsidi Rp 1,5 miliar sama sekali belum tersentuh. Kalau ini bukan ironi, lalu apa namanya?
Lebih pedas lagi, ketika rakyat bertanya: ke mana larinya anggaran jumbo itu? Jawabannya, hingga pertengahan tahun, serapan baru 21% atau sekitar Rp 1,1 triliun.
Jadi, Rp 6 triliun lebih masih tertidur manis di rekening kas daerah. Anggaran jumbo, tapi realisasi kerdil.
Kenapa bisa seret begitu? Karena para pembuat kebijakan bukan cuma sibuk rapat tanpa ujung, tapi juga linglung kebingungan mencari jalan untuk merealisasikan anggaran.
Perencanaannya minim, data setengah matang, program asal tempel. Akibatnya, begitu masuk tahap eksekusi, semua seperti tersesat di lorong gelap tanpa peta.
Wajar jika proyek pembangunan tersendat, tender molor, bahkan ada yang mandek sebelum dimulai.
Alhasil, Bojonegoro terlihat seperti daerah dengan APBD raksasa tapi nyali eksekusi kerdil. Anggaran hanya kuat di angka, tapi tumpul di pelaksanaan.
Rakyat pun cuma bisa menunggu sambil bertanya-tanya: “Apakah triliunan rupiah ini akan turun jadi jalan yang bisa dilalui, atau tetap jadi angka yang hanya enak dibaca dalam laporan?”
Di atas kertas, Bojonegoro tampak mewah dengan kue Rp 7,9 triliun.
Tapi di lapangan, warganya masih mengais harapan agar dana triliunan itu tidak sekadar jadi angka dalam Perda, melainkan betul-betul jadi jembatan, irigasi, dan fasilitas publik.
Jangan sampai APBD kita jadi seperti kue tart raksasa di etalase: indah dipandang, tapi rakyat hanya bisa menelan ludah.
Dan para pejabatnya? Maaf, tapi sering tampak seperti turis tersesat tanpa Google Maps – sibuk memutar kompas yang rusak, bingung membaca peta yang tidak pernah lengkap.