Opini Agus – Pegiat Kebijakan Publik
Bojonegoro – Sepanjang 2024, Kabupaten Bojonegoro seperti berada di persimpangan antara prestasi formal dan realitas lapangan.
Di satu sisi, kabupaten ini menorehkan prestasi membanggakan: Juara 1 Paritrana Award 2024 dari BPJS Ketenagakerjaan, sebuah pengakuan atas perlindungan pekerja rentan.
Namun, di sisi lain, banyak tantangan nyata yang masih menunggu perhatian serius pemerintah dan DPRD.
Salah satunya adalah penggunaan dana aspirasi DPRD yang meningkat drastis dari Rp180 miliar menjadi Rp300 miliar.
Angka fantastis ini menimbulkan pertanyaan publik: sejauh mana dana sebesar itu benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat, bukan sekadar proyek simbolik?
Di bidang pertanian, inovasi memang terlihat menjanjikan. Drone sprayer diperkenalkan sebagai simbol modernisasi dan efisiensi.
Tapi kenyataannya, beberapa petani masih menghadapi kendala teknis, biaya operasional, dan adaptasi terhadap teknologi baru.
Modernisasi tanpa pendampingan berarti masih menyisakan kesenjangan antara janji dan praktik.
Tak kalah penting, infrastruktur jalan tetap menjadi catatan kritis.
Minimnya rambu, marka jalan yang kabur, serta perlintasan anak sekolah yang tak jelas menimbulkan risiko nyata bagi keselamatan warganya.
Apresiasi atas penghargaan formal seakan bertolak belakang dengan kondisi jalan poros kecamatan yang masih rawan.
Terakhir, rencana pembangunan pasar kota tiga lantai kembali memicu perdebatan.
Dengan banyak stan pasar dua lantai dua lokasi berbeda yang ada saat ini kosong, publik bertanya-tanya: apakah proyek baru ini solusi ekonomi atau sekadar proyek prestise?
Bojonegoro 2024 menunjukkan satu hal: prestasi formal dan penghargaan bisa gemilang, tapi jika tantangan lapangan tidak diatasi, warga tetap mencari jalan keselamatan mereka sendiri.
Pemerintah dan DPRD ditantang untuk menyelaraskan kebijakan dan anggaran dengan kebutuhan nyata masyarakat—bukan sekadar pencitraan.