Oleh: KRA. Samsul Arifin, CH., CHt. (Ketua Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Provinsi Jawa Tengah)
Beredar sebuah video di salah satu grup WhatsApp (WAG) yang menggegerkan kalangan jurnalis, khususnya di Jawa Timur. Dalam tayangan tersebut, diduga seorang oknum kepala desa di Kabupaten Nganjuk melontarkan pernyataan yang sangat disayangkan. Ia seolah menegaskan bahwa wartawan yang memiliki KTP luar daerah tidak memiliki hak untuk melakukan wawancara atau konfirmasi di wilayahnya. Ironisnya, yang lebih mencoreng nama baik aparatur pemerintahan, ia juga mengajak masyarakat untuk mengusir bahkan melakukan kekerasan terhadap wartawan yang mencoba melakukan kerja jurnalistik.
Sebagai Ketua Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Provinsi Jawa Tengah, saya memandang hal ini sangat berbahaya dan bisa mencederai semangat demokrasi serta prinsip kebebasan pers yang telah dijamin dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan.
Kita semua tentu memahami bahwa kebebasan pers bukanlah hak yang diberikan oleh seorang kepala desa, camat, atau bahkan pejabat negara sekalipun. Kebebasan pers dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28F yang menyatakan:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Jaminan ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Pasal 4 ayat (1) UU Pers menegaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Lalu, Pasal 4 ayat (3) menyebutkan:
“Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”
Dengan demikian, KTP bukanlah ukuran sah atau tidaknya seorang wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik. Yang menjadi ukuran adalah kartu pers atau surat tugas resmi dari redaksi serta kepatuhan wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik.
Oknum kepala desa yang menolak konfirmasi dengan dalih wartawan berasal dari luar daerah jelas menunjukkan ketidakpahaman terhadap hukum. Wartawan, berdasarkan Pasal 8 UU Pers, mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan profesinya. Perlindungan ini mencakup hak untuk melakukan liputan di wilayah mana pun di Indonesia, tanpa dibatasi domisili administratif.
“Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.”
Konfirmasi kepada narasumber adalah kewajiban etis yang melekat pada profesi wartawan. Jika kepala desa justru menolak, apalagi mengajak melakukan tindakan kekerasan, hal tersebut bukan hanya anti-demokrasi, tetapi juga berpotensi tindak pidana.
Aksi mengajak masyarakat untuk mengusir bahkan memukuli wartawan jelas tidak bisa dianggap remeh. Tindakan itu dapat masuk kategori penghasutan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 160, yang berbunyi:
“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda.”
Selain itu, tindakan intimidasi terhadap wartawan juga bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Pers, yang mengatur:
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Pasal ini sangat jelas: menghalangi wartawan mencari dan menyebarkan informasi adalah tindak pidana.
Seorang kepala desa adalah aparatur pemerintahan yang seharusnya memberi teladan baik, mendukung transparansi, serta menjalin komunikasi yang sehat dengan pers. Jika ada keraguan terhadap legalitas seorang wartawan, mekanisme klarifikasi dapat dilakukan dengan cara yang elegan, misalnya menanyakan kartu pers, surat tugas, atau bahkan kartu kompetensi dari Dewan Pers.
Bukan dengan menolak secara apriori hanya karena KTP wartawan bukan berasal dari daerah setempat, apalagi sampai melontarkan provokasi berbahaya yang bisa mendorong kekerasan terhadap pers.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa serangan terhadap wartawan, baik berupa intimidasi verbal maupun fisik, adalah ancaman nyata terhadap demokrasi. Jika oknum aparat desa saja berani bersikap demikian, bagaimana masyarakat bisa menaruh kepercayaan bahwa pemerintah desa berpihak pada transparansi dan akuntabilitas?
Sebagai Ketua AMKI Jawa Tengah, saya menegaskan bahwa wartawan dalam menjalankan tugas tidak diukur dari alamat KTP, tetapi dari legalitas medianya, surat tugas redaksi, serta kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik. Saya mendesak agar kasus di Nganjuk ini diusut secara serius, agar menjadi pelajaran penting bagi aparatur pemerintahan di seluruh Indonesia untuk tidak main-main dengan kebebasan pers.
Karena, pada akhirnya, kebebasan pers adalah roh demokrasi. Menghalangi pers sama dengan mematikan nafas kebebasan itu sendiri.