Opini Oleh – Agus, Pegiat Kebijakan Publik
Bojonegoro – Rupanya, di tengah APBD yang gemuk, Pemkab Bojonegoro masih punya hobi baru: memungut recehan dari kantin SMP.
Sebanyak 12 sekolah negeri dipaksa setor ke kas daerah. Jumlahnya? Ada yang ratusan ribu, ada pula yang puluhan juta.
Pertanyaannya: sejak kapan ruang pendidikan berubah jadi lahan dagangan pemerintah? Pendidikan itu hak dasar, bukan kios ber-izin resmi.
Ironis, saat negara seharusnya memberi subsidi, Pemkab malah menagih “upeti” kepada sekolah.
Surat Dinas Pendidikan Nomor 700/3877/412.201/2025 adalah buktinya—hitam di atas putih.
Jadi ini bukan sekadar bisik-bisik warung kopi, tapi kebijakan yang disahkan dengan tanda tangan pejabat.
Padahal, Pasal 31 UUD 1945 jelas menyatakan: pendidikan adalah hak warga negara, dan negara wajib membiayainya.
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahkan menegaskan pendanaan pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah.
Lebih gamblang lagi, PP Nomor 48 Tahun 2008 melarang skema pendanaan yang justru menambah beban sekolah.
Tapi, apa daya? Yang triliunan di APBD tampaknya sibuk dipamerkan lewat spanduk penghargaan, sementara yang recehan justru ditarik dari anak sekolah.
Paradoks ini mirip pepatah getir: pemerintah lebih pandai menjaga celengan ketimbang menjaga cita-cita anak bangsa.
Jika kebijakan ini tetap dipertahankan, jangan salahkan rakyat bila menilai: sekolah negeri di Bojonegoro bukan lagi rumah ilmu, tapi ATM pemerintah dengan kode PIN bernama “aturan teknis”.