Oleh : Agus, Pegiat Kebijakan Publik
Bojonegoro – Ada yang masih salah paham: ketika publik meminta transparansi, pejabat buru-buru menutup map, seakan-akan yang diminta itu aib pribadi.
Padahal transparansi bukan membuka rahasia dapur rumah tangga, melainkan sekadar menunjukkan bukti belanja: berapa yang masuk, berapa yang keluar, dan siapa yang kekenyangan?
Kalau uangnya uang negara, itu bukan privasi. Itu dana rakyat yang wajib dipertanggungjawabkan.
Menyebut transparansi sebagai “buka aib” justru terdengar seperti pengakuan terselubung: berarti memang ada yang disembunyikan.
Aneh juga, di desa-desa, papan informasi dana desa wajib dipasang besar-besar di pinggir jalan.
Tapi di gedung-gedung pemerintahan kabupaten, angka-angka triliunan bisa lenyap seolah hanya catatan di kertas hitam yang disimpan di laci.
Transparansi di desa diwajibkan, transparansi di kota dianggap buka aib. Kok logikanya jungkir balik?
Kalau memang uangnya dipakai benar, transparansi itu justru jadi ajang pamer: “Lihat, uang rakyat saya kelola dengan baik.”
Tapi kalau laporan anggaran bikin wajah memerah, berarti ada yang tak beres.
Transparansi adalah cahaya. Yang takut cahaya biasanya hanya dua: hantu dan pencuri.
Maka, jangan buru-buru menuding rakyat tukang membuka aib. Justru rakyatlah yang menagih janji: bahwa uang negara tidak hilang di jalan gelap, melainkan sampai ke tujuan.
Transparansi bukan untuk mempermalukan, tapi untuk memastikan semua amanah dijalankan.
Kalau pejabat salah paham, mungkin bukan rakyat yang salah, tapi nuraninya yang redup.