Oleh : Agus, Pegiat Kebijakan Publik lokal
Bojonegoro – APBD kita triliunan, tapi serapan anggarannya terasa seperti recehan tercecer di lantai pasar.
Ditanya soal lambatnya penyerapan, Bupati Wahono hanya menjawab singkat: “sdh jln.”
Memang benar, “sudah jalan.” Tapi jalan ke mana? Mari lihat datanya:
Awal Mei 2025 – Serapan 14%, Rp1,11 triliun dari Rp7,9 triliun.
Pertengahan Juni – 21%, Rp1,66 triliun.
Akhir Juli – 28,56%, Rp2,26 triliun.
Hingga Agustus – masih 28–30%, alias Rp2,21–Rp2,37 triliun.
Kalau ini disebut “jalan,” maka jalannya seperti koin receh: jatuh, menggelinding, dan entah berhenti di selokan mana.
Program besar seakan cuma parade di meja birokrasi. Proposal masuk, berkas ditumpuk, disposisi diputar, hasilnya balik lagi jadi kertas.
Proyek PL pun macet konsolidasi, program prioritas lebih indah di brosur ketimbang di lapangan.
Yang sibuk justru para pejabat: rapat panjang, tayang PowerPoint penuh animasi, lobi sana-sini.
Sementara rakyat tetap melintasi jalan berlubang dan gelombang, menikmati “wisata guncangan gratis.”
Triliunan APBD akhirnya lebih mirip drama panggung. Angka fantastis dipajang dalam laporan, tapi rakyat menerima recehan hasil pembangunan.
Pertanyaan klasik pun muncul: kalau “sudah jalan,” jalan ke mana? Ke podium penghargaan, atau ke jalan desa yang rusak parah?
Kalau terus begini, jangan-jangan Bojonegoro sedang mencetak rekor: APBD terbesar nomer 2 se-Jatim dengan manfaat terkecil.