Opini Agus – Pegiat Kebijakan Publik
Bojonegoro – Di Bojonegoro, Agustus 2025, dunia pendidikan lagi-lagi jadi panggung hiburan.
Beasiswa “Sepuluh Sarjana per Desa” diumumkan dengan angka fantastis: Rp34,6 miliar.
Angka segede itu kalau buat beli pentol bisa bikin seluruh Bojonegoro kenyang seminggu penuh.
Tapi mari kita jujur: yang benar-benar dapat beasiswa itu segelintir, sedangkan yang bingung urus berkas, verifikasi, dan syarat tak berkesudahan jumlahnya ribuan.
Alhasil, beasiswa yang katanya untuk pemerataan malah mirip undian arisan: siapa hoki, dia yang lolos.
Lucunya, masyarakat cuma dikasih lihat banner “program sukses”. Padahal, yang lebih sukses seringkali justru calo informasi, joki berkas, atau mahasiswa yang sudah punya privilese.
Yang betul-betul miskin? Kadang masih sibuk fotokopi KTP bolak-balik, sampai lebih boros ongkos daripada nilai bantuan yang dijanjikan.
Begitulah, miliaran rupiah diumumkan, seremoni dijalankan, publik bertepuk tangan.
Tapi di balik layar, ribuan warga masih bertanya: “beasiswa ini untuk kami, atau hanya untuk dipajang di laporan tahunan?”
Kalau sudah begini, pendidikan terasa seperti panggung komedi—tapi sayangnya, rakyatlah yang kebagian peran jadi penonton setia.