Opini Agus – Pegiat Kebijakan Publik
Bojonegoro – Publik Bojonegoro akhir-akhir ini kerap mendengar istilah retensi anggaran.
Dana bagi hasil migas, pajak, maupun pendapatan daerah, kerap kali sudah masuk kas daerah namun tak segera dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
Uang dibiarkan mengendap, seolah lebih nyaman tidur di rekening daripada bekerja untuk kesejahteraan warga.
Padahal, Undang-undang nomer 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara secara tegas memerintahkan agar setiap rupiah yang masuk kas negara maupun daerah dikelola dengan tertib, taat aturan, efisien, ekonomis, efektif, dan tepat waktu. Kata kunci: ‘tepat waktu’. Retensi jelas menusuk jantung prinsip ini.
Lebih jauh, Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menggariskan kepala daerah wajib mengelola anggaran secara transparan dan akuntabel.
Sementara Peraturan Pemerintah nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah mengikat kewajiban agar anggaran dilaksanakan sesuai jadwal.
Artinya, penundaan tanpa dasar bukan hanya lalai, tapi bisa dianggap pelanggaran hukum administrasi.
Jika ditarik ke hulu, Pasal 23 UUD 1945 menegaskan APBN dan APBD harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Maka, setiap rupiah yang ditahan tanpa alasan sah, adalah bentuk pengingkaran atas semangat konstitusi. Retensi bukan sekadar istilah teknis, melainkan potensi maladministrasi.
Jika ada motif keuntungan dari bunga deposito, atau bahkan sengaja menahan untuk kepentingan politik, maka situasinya bisa meluncur ke ranah pidana korupsi.
Rakyat Bojonegoro tidak butuh piagam penghargaan, tapi jalan yang aman, sekolah yang layak, dan fasilitas kesehatan yang cekatan dan proporsional.
Anggaran yang mengendap hanya menambah daftar paradoks: daerah kaya sumber daya, tapi warganya menunggu giliran untuk sejahtera.
Pertanyaannya sederhana: apakah retensi ini strategi, kelalaian, atau justru pengkhianatan atas amanat undang-undang dan konstitusi?
Catatan: ini opini pribadi.