Opini Agus – Pegiat Kebijakan Publik
Bojonegoro – Di atas kertas, Bojonegoro selalu dielu-elukan sebagai daerah kaya migas dengan pundi-pundi Dana Bagi Hasil (DBH) yang deras. Piagam Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tiap tahun dipajang bak piala kebanggaan.
Namun di balik layar, rakyat Bojonegoro justru dipaksa menonton pertunjukan tragis: uang daerah ditahan, pembangunan tersendat, dan pelayanan publik jalan di tempat.
Inilah wajah retensi anggaran versi Bojonegoro. Pemerintah daerah lebih sibuk menjaga saldo kas tetap gemuk, ketimbang memastikan uang rakyat benar-benar mengalir ke masyarakat.
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) membengkak tiap tahun, seolah kas daerah adalah brankas pribadi, bukan instrumen untuk menggerakkan roda pembangunan.
Pertanyaan kritis pun muncul: apakah anggaran memang sengaja ditahan demi sekadar menunjukkan stabilitas semu? Jika iya, maka itu sama saja mempermainkan hak rakyat.
Uang rakyat diparkir di bank, sementara rakyat tetap harus menambal kemiskinannya sendiri.
Retensi semacam ini bukan sekadar salah kelola, tapi juga pengkhianatan atas amanah. APBD adalah kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat. Jika anggaran dibiarkan tidur nyenyak, berarti kontrak itu dilanggar terang-terangan.
Bojonegoro harus segera sadar: piagam WTP tidak bisa dimakan, saldo kas triliunan tidak bisa menggantikan jalan yang aman atau sekolah yang layak. Rakyat butuh hasil nyata, bukan sekadar angka-angka manis yang dipamerkan di laporan keuangan.
Selama retensi anggaran terus dibiarkan, Bojonegoro hanya akan menjadi panggung ironi—kaya di atas kertas, miskin dalam kenyataan. Dan rakyat akan terus dipaksa puasa pembangunan, meski dapurnya penuh dengan minyak dan uang.
Rekomendasi Konkret:
Pertama, Percepatan Serapan Anggaran. Setiap dinas wajib membuat target serapan triwulanan. Jika target meleset, kepala dinas harus dievaluasi langsung oleh Bupati.
Kedua, Publikasi Real-Time APBD. Masyarakat berhak tahu uang mereka ke mana. Dashboard digital APBD yang bisa diakses publik adalah keniscayaan, bukan sekadar wacana.
Ketiga, Fokus pada Program Prioritas Rakyat. Jangan biarkan anggaran habis untuk seremoni dan proyek mercusuar. Jalan, sekolah, kesehatan, dan air bersih harus jadi prioritas utama.
Keempat, Audit Independen atas SiLPA. Besarnya SiLPA harus diaudit secara transparan: apakah karena efisiensi, atau karena kemandekan birokrasi? Jika ditemukan kesengajaan menahan anggaran, harus ada konsekuensi politik dan hukum.
Kelima, Penghargaan bagi Dinas dengan Serapan Cepat dan Tepat. Bukan hanya hukuman, tapi juga penghargaan agar ada motivasi positif bagi OPD yang benar-benar bekerja.
Bojonegoro tidak kekurangan uang, tapi kekurangan keberanian untuk membelanjakan uang itu tepat sasaran.
Jika pemerintah berani keluar dari pola pikir “asal aman” dan mulai menyalurkan anggaran secara nyata, maka rakyat tidak lagi menjadi penonton, tapi benar-benar merasakan manfaat kekayaan daerahnya.
Catatan: ini opini pribadi.