Opini oleh Agus.
Bojonegoro – Bojonegoro selalu dielu-elukan sebagai lumbung pangan Jawa Timur. Namun fakta di lapangan berkata lain, angka stunting masih di atas 20 persen (BPS 2024).
Bagaimana bisa sebuah “lumbung” penuh hasil panen, tetapi anak-anak di dalamnya tetap kekurangan gizi?
Produksi padi Bojonegoro memang surplus, tapi distribusi beras masih dikuasai tengkulak. Petani dipaksa menjual murah, sementara harga pangan di pasar melambung.
Pemerintah daerah justru sibuk memoles citra lewat seremoni panen raya ketimbang menyelesaikan masalah struktural. Ini bukan sekadar ironi, tapi kegagalan nyata. Pemerintah daerah terjebak pada pencitraan, bukan solusi.
Ketahanan pangan dipersempit hanya pada angka produksi, padahal persoalan utamanya adalah akses, distribusi, dan gizi rakyat. Dalam kondisi seperti ini, jargon “lumbung pangan” tak lebih dari slogan politik kosong.
Menurut narasumber real pakar pertanian Universitas Brawijaya, menegaskan, “Selama petani tetap miskin dan anak-anak stunting, istilah lumbung pangan hanyalah kebohongan publik.”
Sudah saatnya pemerintah Bojonegoro berhenti bersembunyi di balik retorika lumbung pangan. Rakyat butuh perut kenyang, bukan kata-kata manis.
Jika pola lama ini dibiarkan, Bojonegoro hanya akan dikenal sebagai lumbung kebohongan, bukan lumbung pangan.